• Jelajahi

    Copyright © Karawang Channel
    Berita aktual tepercaya

    Kanal Video

    Laut Utara Karawang: Karang yang Pulih dan Harapan yang Tumbuh

    Senin, 15 September 2025
    Perahu Nelayan Saat Melewati Modul Paranje di Gugusan Karang Sendulang. Foto: Dok PHE ONWJ.



    KARAWANG, Karawangchannel.com – Ombak sore merayap pelan, mengusap lambat perahu kayu yang terikat di dermaga Dusun Tangkolak, Desa Sukakerta, Cilamaya Wetan. Angin laut membawa aroma asin yang pekat, menyelipkan cerita panjang dari dasar air: kisah pelabuhan kuno yang sibuk, kapal-kapal asing yang karam, karang yang dijarah, dan penunggu gaib yang masih menunggu. Kini, di antara bayangan ombak, sebuah harapan baru mulai tumbuh, karang muda yang menembus gelap, menegakkan kehidupan di dasar laut Utara Karawang.


    Pelabuhan Kuno dan Jejak Perdagangan

    Perayaan Oleh Orang-Orang Cina di Ci Tarum tahun 1910. (Sumber: http://media-kitlv.nl)


    Sejak abad ke-16, Karawang telah dicatat dalam catatan Portugis sebagai "Caravam” salah satu pelabuhan utama Kerajaan Sunda. Muara Citarum, Cilamaya, dan Tangkolak menjadi simpul dagang yang ramai. Saudagar Cina datang membawa teh dan porselen, pedagang Arab menawarkan rempah, sementara pelaut Nusantara membawa ikan kering dan garam. Bahkan kapal-kapal Eropa menyusuri garis pantai Karawang untuk menukarkan emas, kain, dan keramik.


    Laut Utara Karawang bukan sekadar jalur dagang. Ia juga saksi tragedi. Kapal VOC karam menabrak gosong karang, meninggalkan koin, keramik, meriam, dan jangkar yang sempat menjadi perburuan. Dua bangkai kapal besar ditemukan: satu sepanjang 110 meter, satu 40 meter. Banyak artefak dijarah sejak 1980-an oleh penyelam kompresor, meninggalkan luka sejarah di dasar laut. Menurut Wisnu Arya, peneliti sejarah maritim, Laut Utara Jawa Barat merupakan sebuah "museum bawah laut” yang menunjukkan bagaimana perdagangan, peperangan, dan bencana alam bersinggungan di kawasan ini.


    VOC, perusahaan dagang terbesar di Eropa kala itu, mengirim hampir satu juta orang ke Asia dengan 4.785 kapal. Mereka mengangkut rempah, porselen, tekstil, hingga sutra, dan meninggalkan jutaan halaman catatan yang kini tersimpan di arsip dunia. Laut utara Karawang menjadi salah satu saksi bisu pergerakan raksasa dagang global itu.


    "Dulu ayah saya menceritakan, orang ramai mencari harta karun di laut. Ada yang dapat koin Cina, ada yang guci. Sekarang sudah dilarang, katanya semua itu milik negara,” ujar Dama Saputra, Ketua Kelompok Pandu Alam Sendulang (PAS), Senin (8/9/2025).


    Luka: Dari Pondasi Rumah hingga Kompresor


    Rasa hormat itu sempat hilang pada dekade 1980–1990-an. Banyak karang diambil untuk pondasi rumah. "Dulu pondasi rumah pakai karang laut,” kenang Dama.


    Selain itu, budaya menyelam dengan kompresor tambal ban turun-temurun dilakukan. Anak mewarisi cara berbahaya dari orang tuanya. Udara Nitrogen bertekanan tinggi dipompa ke paru-paru. Banyak penyelam jatuh sakit, bahkan meninggal dunia. 


    "Mayoritas nelayan di sini pakai kompresor. Karena alat scuba mahal, ya larinya ke manual. Bahaya sekali, tapi tidak ada pilihan,” tambah Dama.


    Ayah Dama, seorang penyelam, juga kerap pulang membawa bongkahan karang besar pada tahun 1990-an. "Sekali angkut bisa tiga sampai empat kubik. Waktu itu orang belum sadar, dianggap karang itu sama saja seperti batu kali.” katanya.


    Laut yang Disakralkan


    Bagi masyarakat Tangkolak, laut bukan hanya ruang mencari ikan. Ia adalah ruang budaya, bahkan spiritual. Nanang Sai, nelayan senior, masih mengingat kisah tentang gugusan karang berbentuk anjing duduk yang diyakini sebagai gerbang gaib.


    "Kalau lewat situ harus sopan. Kami biasanya ucapkan permisi. Pernah ada orang hilang di malam Jumat Kliwon, perahunya ketemu, tapi orangnya tidak pernah kembali,” kata Nanang Sai, Seorang Nelayan senior asal Tangkolak, Senin (8/9/2025).


    Adat melarung sesaji masih dilakukan hingga kini, sebagai penghormatan pada penunggu laut. "Sesaji diletakkan di pojok karang, bukan di tengah. Itu tata krama kami,” tambahnya.


    Biodiversitas Laut Utara Karawang yang Kaya


    Pegawai Dinas Perikanan Karawang, Ade Kurniawan mengenang saat pertama kali ia menyelam di Tangkolak pada 2006. 


    "Visibilitas rendah karena ombak tinggi. Tapi saya lihat banyak karang masif seperti karang otak, boulder besar. Ada juga karang cabang, karang api, karang bunga,” ujarnya, Kamis (11/9/2025).


    Konon katanya, habitat laut Karawang lengkap: terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Dulu, nelayan sering melihat dugong, lumba-lumba, penyu hijau, penyu sisik, hingga hiu paus. Ikan karang pun melimpah: ikan badut, ekor kuning, kerapu, belut laut.


    Hilangnya terumbu karang tidak hanya mengurangi jumlah ikan, tetapi juga merusak ekosistem. Nelayan kesulitan menemukan ikan yang biasa mereka tangkap, dan ekonomi lokal ikut terguncang.


    Otak Jawara: Tangan-Tangan yang Menyelamatkan

    Misi Penyalatan Terumbu Karang Melalui Program Otak Jawara PHE ONWJ.


    Harapan baru datang pada 2016, ketika Pertamina Hulu Energy Offshore North West Java (PHE ONWJ) meluncurkan program Otak Jawara (Orang Tua Asuh Karang Laut Utara Jakarta & Jawa Barat). Dimulai dari Pulau Biawak, Indramayu, program ini masuk ke Karawang pada 2022.


    PHE ONWJ tidak bekerja sendiri. Mereka menggandeng Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB Bogor, konsultan kelautan, serta kelompok nelayan lokal PAS. Tujuannya sederhana tapi besar: menanam kembali kehidupan lewat transplantasi karang dengan media bernama paranje.


    Modul Paranje yang Kini Kembali Menjadi Habitat Ikan dan Terumbu Karang. Foto: Dok PHE ONWJ.


    Di tepi pantai Tangkolak, deretan modul paranje tampak seperti kubah-kubah beton berongga. Bentuknya memang sengaja didesain menyerupai gua mini bawah laut, tempat ikan bisa keluar masuk dan karang bisa menempel. 


    "Lubangnya biar ikan bisa keluar masuk, jadi sekaligus tempat berlindung. Begitu karang tumbuh, makin banyak ikan yang datang,” jelas Ahmad Salman Alfarisi, Associate Monitoring Pemulihan Environmental PHE ONWJ, Senin (8/9/2025).


    Menurut Ahmad Salman Alfarisi, program transplantasi karang ini tidak berhenti di penanaman saja, tetapi juga dipantau secara rutin. 


    "Setiap tiga bulan, kami melakukan monitoring pertumbuhan. Kami ukur panjang fragmen karang, persentase tutupan, hingga jumlah ikan yang datang. Hasilnya cukup menggembirakan, rata-rata pertumbuhan karang mencapai 2–3 cm per tahun di Karawang. Itu lebih cepat dibanding pertumbuhan alami,” jelasnya.


    "Targetnya 100 modul per tahun, tapi biasanya lebih. Dari 2022 sampai 2025 sudah 420 modul ditenggelamkan di Karawang, dengan luas total 0,28 hektare,” tambah Ahmad.


    Jika digabung dengan Indramayu, total ada 770 modul yang ditanam, dengan lebih dari 3.479 fragmen karang ditempelkan di atasnya.


    Tak hanya soal karang, PHE ONWJ juga mengajari nelayan cara menyelam sehat tanpa kompresor, cara menangkap ikan yang ramah lingkungan, hingga cara menjaga laut sebagai warisan bersama. "Jadi bukan hanya modul karang yang tumbuh, tapi juga kesadaran masyarakat,” paparnya.


    Bagi Karawang yang rawan abrasi, fungsi karang jauh lebih besar dari sekadar rumah ikan. Terumbu adalah benteng alami yang mampu meredam ombak besar sebelum menghantam daratan. "Kalau karang hilang, ombak langsung hantam pesisir. Makanya karang ini sebenarnya juga melindungi kampung,” tutur Dama Saputra.


    Pertumbuhan karang ternyata cukup mengejutkan: dari hanya 6–7 cm pada awal 2022, kini sudah menutupi modul dan bahkan patah karena terlalu besar. "Kalau patah, kami ikat lagi pakai tali, kami lem, supaya kuat,” kata Dama Saputra sambil tersenyum.


    Hasilnya mulai terasa. Lebih dari 950 ekor ikan kini memanfaatkan area transplantasi. Barramundi, ikan kue, talang-talang, ekor kuning, hingga rajungan kembali berenang.


    Di kedalaman hanya beberapa meter, modul paranje kini dipenuhi karang muda berwarna hijau, biru, dan oranye pucat. Gerombolan ikan ekor kuning melintas cepat, sementara rajungan kecil bersembunyi di rongga beton. Cahaya matahari yang menembus air membuat pemandangan itu tampak seperti akuarium raksasa.


    Ekonomi dan Harapan Warga


    Desa Sukakerta menempel di garis Laut Jawa, ujung utara Karawang. Luasnya hanya 7,32 km², sekitar 10,55 persen dari total Kecamatan Cilamaya Wetan. Meski kecil, desa ini dihuni 6.586 jiwa. Mayoritas hidup dari laut. Dari pusat pemerintahan Kabupaten Karawang, Sukakerta berjarak sekitar 46 kilometer. Bukan hanya jarak fisik, tapi juga jarak sosial: dari kawasan industri menuju pesisir yang masih menggantungkan hidup pada tangkapan ikan.


    Data Badan Pusat Statistik (BPS) Karawang Kecamatan Cilamaya Wetan sendiri memiliki luas 69,66 km², dihuni 83.551 jiwa pada 2024. Mayoritas penduduk desa bekerja di sektor perikanan sekitar 65 persen, sementara sisanya beralih ke perdagangan kecil atau bekerja di pabrik yang tersebar di Karawang Utara. Rasio penduduk muda (0–17 tahun) mencapai 30 persen, sedangkan lansia 10 persen.


    Meski angka penduduk menunjukkan Sukakerta hanya sepotong kecil dari Cilamaya Wetan, di sinilah laut dan karang merajut ulang kisah ekonomi, ekologi, dan sejarah panjang maritim Nusantara.


    Komitmen Pemerintah dan Wisata Bahari


    Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karawang juga mulai melirik ekowisata. Snorkeling dan diving bisa menjadi magnet baru bagi pengunjung dari Karawang maupun daerah lain. 


    "Kalau karangnya sudah kuat, kami ingin buka wisata snorkeling. Itu bisa jadi tambahan ekonomi warga.” ujar Bupati Karawang, Aep Syaepuloh Rabu (10/9/2025).


    Rencana ini juga melibatkan generasi muda, yang dilatih menjadi pemandu snorkeling dan pengawas laut, sehingga konservasi dan ekonomi berjalan beriringan.


    Selain itu, pemerintah menyediakan program sosialisasi bagi nelayan dan warga sekitar. Setiap musim tangkap ikan, mereka diberikan pelatihan menjaga karang, mengelola jaring, dan cara menyelam aman. Bahkan sekolah-sekolah lokal mulai memasukkan materi konservasi laut dalam kurikulum, agar anak-anak memahami pentingnya menjaga warisan laut sejak dini.


    Laut yang Kembali Bernyawa


    Kehidupan Laut Tangkolak yang Kembali Hidup Berkat Program Otak Jawara PHE ONWJ. Foto: Gelar Maulana Media



    Senja di Tangkolak kian temaram. Ombak berkejaran, membawa aroma asin yang khas. Di dasar laut, ratusan modul paranje berdiri kokoh, ditumbuhi karang muda berwarna-warni yang kini jadi rumah ribuan ikan kecil.


    Laut Karawang yang dulu menyimpan mitos, menyaksikan kapal VOC karam, lalu menderita karena keserakahan manusia, kini perlahan pulih. Jika dulu karang dianggap batu untuk pondasi rumah, kini ia disemai dengan hati-hati sebagai pondasi kehidupan.


    Kontrasnya begitu tajam: jika tiga abad silam kapal VOC karam karena menghantam karang, hari ini anak-anak nelayan Karawang justru menanam karang untuk menjaga laut. Sejarah yang dulu ditorehkan dengan luka, kini dijawab dengan upaya penyembuhan.


    "Kalau terumbu karangnya sudah bagus, bukan cuma ikan yang kembali. Anak cucu kita juga bisa menikmati keindahan bawah laut Karawang,” ujar Dama Saputra, menatap laut yang tak pernah ia tinggalkan.


    Refleksi dan Masa Depan


    Laut Utara Karawang kini menjadi simbol keberhasilan kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, akademisi, dan perusahaan. Dari data BPS hingga jurnal ilmiah, terlihat jelas bagaimana degradasi dan pemulihan saling bertaut. Program Otak Jawara membuktikan bahwa intervensi manusia bisa membawa dampak positif jika dilakukan dengan tepat.


    Namun, ancaman tetap ada. Sedimentasi dari muara, dan aktivitas industri menuntut perhatian terus-menerus. Keberhasilan hari ini tidak menjamin keberlanjutan esok. Kesadaran kolektif, pengawasan, dan edukasi menjadi kunci agar laut Karawang tetap hidup dan produktif.


    Di dasar laut, modul-modul paranje terus menunggu pertumbuhan karang baru. Di permukaan, nelayan menyiapkan jaring dan perahu kayu, anak-anak berlari di dermaga, dan matahari terbenam menorehkan cahaya keemasan di laut yang kini kembali bernyawa.


    Laut Utara Karawang, dari pelabuhan kuno hingga terumbu yang pulih, bercerita tentang sejarah, luka, dan harapan. Dari kapal VOC yang karam hingga tangan-tangan anak nelayan menanam karang, menebus dosa masa lalu sang ayah. Perjalanan ini adalah cermin bagaimana manusia bisa belajar dari masa lalu dan menanam kehidupan untuk generasi mendatang.


    Program Otak Jawara kini mulai mengubah kehidupan di pesisir Utara Karawang: ikan kembali, benteng alami melindungi kampung dari abrasi, dan potensi ekowisata muncul. (Gelar Maulana Media)

    Kolom netizen >>>

    Buka kolom netizen

    Berita Update

    Lingkungan

    +